Jumat, 05 Juni 2015

Judi Patologis



JUDI PATOLOGIS

By. Andy Wasono

Perjudian merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat Indonesia yang ada saat ini, bahkan perjudian disinyalir telah menyentuh hampir di berbagai lapisan masyarakat. Meskipun perjudian merupakan kegiatan terlarang dan dapat dikenai sangsi, namun pada kenyataannya perjudian ini sangat sulit diberantas. Hal ini berkaitan dengan mental masyarakat untuk mengejar materi dengan cara cepat  dan mudah. Adanya kondisi keadaan perekonomian masyarakat yang cenderung semakin sulit, sangat memprihatinkan dan menyulitkan masyarakat akibat kurangnya lapangan kerja, serta rendahnya tingkat penghasilan masyarakat merupakan beban yang dialami sebagian besar masyarakat saat ini. Berbagai hal tersebut menyebabkan mereka berusaha untuk menutupi kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbagai cara ditempuh baik yang sah atau legal menurut hukum. Bagi sebagian anggota masyarakat jalan yang tidak menurut hukum terpaksa ditempuh karena hal itu merupakan pilihan terbaik menurut mereka. Salah satu jalan yang menurut hukum sangat bertentangan dengan aturan yang ada adalah dengan melakukan perjudian. Tindakan berjudi ini dilakukan dengan harapan kalau menang dapat menutupi kebutuhan hidup mereka.
Menurut Kartini Kartono dalam bukunya yang berjudul patologi sosial, perilaku perjudian merupakan pertaruhan dengan sengaja yaitu mempertaruhkan suatu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai dengan menyadari adanya resiko dan harapan-harapan tertentu dalam peristiwa-peristiwa permainan, pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian yang tidak atau belum pasti hasilnya. Selanjutnya dalam kamus Webster, perjudian (gambling) didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang melibatkan elemen risiko. Risiko didefinisikan sebagai kemungkinan terjadinya suatu kerugian. Selain itu, perjudian dalam buku Abnormal Psychology and Modern Life (Carson dan Butcher, 1992) mendefinisikan perjudian sebagai tindakan yang berusaha memasang taruhan atas suatu permainan atau kejadian tertentu dengan harapan memperoleh suatu hasil atau keuntungan yang besar. Apa yang dipertaruhkan dapat saja berupa uang, barang berharga, makanan, dan lain-lain yang dianggap memiliki nilai tinggi dalam suatu komunitas.
Definisi serupa dikemukakan oleh Stephen Lea, et al (1987) dalam buku The Individual in the Economy, A Textbook of Economic Psychology seperti yang dikutip oleh Papu (2002). Menurut mereka perjudian adalah suatu kondisi dimana terdapat potensi kehilangan sesuatu yang berharga atau segala hal yang mengandung risiko. Namun demikian, perbuatan mengambil risiko dalam perilaku berjudi, perlu dibedakan pengertiannya dari perbuatan lain yang juga mengandung risiko. Ketiga unsur dibawah ini mungkin dapat menjadi faktor yang membedakan perilaku berjudi dengan perilaku lain yang juga mengandung risiko:
a.    Perjudian adalah suatu kegiatan sosial yang melibatkan sejumlah uang (atau sesuatu yang berharga) dimana pemenang memperoleh uang dan imbalan lainnya yang dianggap berharga.
b.    Risiko yang diambil bergantung pada kejadian-kejadian di masa mendatang, dengan hasil yang tidak diketahui, dan banyak ditentukan oleh hal-hal yang bersifat kebetulan atau keberuntungan.
c.    Risiko yang diambil bukanlah suatu yang harus dilakukan, kekalahan atau kehilangan dapat dihindari dengan tidak ambil bagian dalam permainan judi.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perjudian adalah perilaku yang melibatkan adanya risiko kehilangan sesuatu yang berharga dan melibatkan interaksi sosial serta adanya unsur kebebasan untuk memilih apakah akan mengambil risiko kehilangan tersebut atau tidak.
Perjudian menjadi salah satu pilihan yang dianggap sangat menjanjikan keuntungan tanpa harus bersusah payah bekerja. Perjudian dianggap sebagai pilihan yang tepat sebagian masyarakat untuk mencari uang dengan lebih cepat dan mudah. Dan mereka kurang menyadari bahwa akibat judi jauh lebih berbahaya dan merugikan dari keuntungan yang akan diperolehnya dan yang sangat jarang dapat diperolehnya. Karena pada dasarnya perjudian sangat membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan pribadi maupun keluarga (dalam skala kecil) serta pada masyarakat, bangsa dan negara (dalam skala yang lebih besar). Pada hakekatnya, perjudian adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma, moral, kesusilaan maupun hukum. Dari sudut pandang agama manapun, perilaku perjudian sangat tidak dibenarkan. Hal ini karena, perilaku berjudi pada umumnya tidak akan mendatangkan manfaat bagi individu yang melakukannya dan bahkan hanya akan mendatangkan kesengsaraan dan penderitaan yang lebih berat lagi. Perjudian juga bisa menimbulkan kerugian kepada pihak yang melakukannya, meski memang kadang memberikan keuntungan. Tetapi keuntungan yang didapatkan atas suatu perjudian tidak bisa dijadikan alasan pembenar sehingga menghalalkan untuk melakukan perjudian.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 303 ayat (3) KUHP menyebutkan bahwa :
 Yang dimaksud dengan permainan judi adalah tiap-tiap permainan, dimana kemungkinan untuk menang pada umumnya bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Dalam pengertian permainan judi termasuk juga segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segaa pertaruhan lainnya.
Perjudian dalam perspektif hukum adalah salah satu tindak pidana (delict) yang meresahkan masyarakat. Sehubungan dengan itu, dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dinyatakan bahwa semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Ancaman pidana perjudian sebenarnya cukup berat, yaitu dengan hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah). Walaupun perjudian dilarang dan diancam dengan hukuman, namun kenyataannya masih banyak masyarakat Indonesia yang melakukannya. Hal itu antara lain karena manusia mempunyai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, sedangkan di sisi lain tidak setiap orang dapat memenuhi hal itu karena berbagai sebab misalnya karena tidak mempunyai pekerjaan atau mempunyai penghasilan lain untuk memenuhi kebutuhan mereka. Atau dapat juga mempunyai pekerjaan tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Pilihan mereka untuk menambah kekurangan kebutuhan tersebut adalah antara lain pilihannya melakukan judi dan perjudian, judi menjadi alternatif yang terpaksa dilakukan meskipun mereka tahu risikonya, untuk mencukupi kebutuhannya dan keluarganya.
Perjudian tetap berkembang seiring dengan berkembangnya peradaban manusia, bahkan macam dan bentuk perjudian saat ini sudah merebak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Perjudian banyak ditemui di berbagai tempat atau lokasi, yang diperkirakan tidak dapat diketahui oleh pihak berwajib, bahkan tidak jarang dilakukan dekat dengan pemukiman penduduk. Selain alasan diatas, dari berbagai hasil penelitian lintas budaya yang telah dilakukan oleh para ahli, diperoleh ada sekitar 5 (lima) faktor yang amat berpengaruh dalam memberikan kontribusi terhadap perilaku berjudi. Kelima faktor tersebut adalah :
a.    Faktor Sosial & Ekonomi
Bagi masyarakat dengan status sosial dan ekonomi yang rendah, perjudian seringkali dianggap sebagai suatu sarana untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Tidaklah mengherankan jika pada masa masih ada undian SDSB di Indonesia pada zaman orde baru yang lalu, peminatnya (penjudi) justru lebih banyak dari kalangan masyarakat ekonomi rendah seperti tukang becak, buruh, atau pedagang kaki lima dibandingkan dengan kalangan masyarakat yang bisa dikatakan kaya atau berlebih. Dengan modal yang sangat kecil, mereka (kalangan masyarakat ekonomi rendah) berharap mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya atau menjadi kaya dalam sekejab tanpa usaha yang besar. Selain itu kondisi sosial masyarakat yang menerima perilaku berjudi juga berperan besar terhadap tumbuhnya perilaku tersebut dalam komunitas.
b.    Faktor Situasional
Situasi yang bisa dikategorikan sebagai pemicu perilaku berjudi, diantaranya adalah tekanan dari teman-teman atau kelompok atau lingkungan untuk berpartisipasi dalam perjudian dan metode-metode pemasaran yang dilakukan oleh pengelola perjudian. Tekanan kelompok membuat sang calon penjudi merasa tidak enak jika tidak menuruti apa yang diinginkan oleh kelompoknya. Sementara metode pemasaran yang dilakukan oleh para pengelola perjudian dengan selalu mengekspose para penjudi yang berhasil menang memberikan kesan kepada calon penjudi bahwa kemenangan dalam perjudian adalah suatu yang biasa, mudah dan dapat terjadi pada siapa saja (padahal kenyataannya kemungkinan menang sangatlah kecil). Peran media massa seperti televisi dan film yang menonjolkan keahlian para penjudi yang "seolah-olah" dapat mengubah setiap peluang menjadi kemenangan atau mengagung-agungkan sosok sang penjudi, telah ikut pula mendorong individu untuk mencoba permainan judi.
c.    Faktor Belajar
Faktor belajar memiliki efek yang besar terhadap perilaku berjudi, terutama menyangkut keinginan untuk terus berjudi. Apa yang pernah dipelajari dan menghasilkan sesuatu yang menyenangkan (positive reward) akan terus tersimpan dalam pikiran seseorang dan sewaktu-waktu ingin diulangi lagi. Inilah yang dalam teori belajar disebut sebagai Reinforcement Theory yang mengatakan bahwa perilaku tertentu akan cenderung diperkuat/diulangi bilamana diikuti oleh pemberian hadiah/sesuatu yang menyenangkan.
d.    Faktor Persepsi tentang Probabilitas Kemenangan
Persepsi yang dimaksudkan disini adalah persepsi pelaku dalam membuat evaluasi terhadap peluang menang yang akan diperolehnya jika ia melakukan perjudian. Para penjudi yang sulit meninggalkan perjudian biasanya cenderung memiliki persepsi yang keliru tentang kemungkinan untuk menang. Mereka pada umumnya merasa sangat yakin akan kemenangan yang akan diperolehnya, meski pada kenyataannya peluang tersebut amatlah kecil karena keyakinan yang ada hanyalah suatu ilusi yang diperoleh dari evaluasi peluang berdasarkan sesuatu situasi atau kejadian yang tidak menentu dan sangat subyektif. Dalam benak mereka selalu tertanam pikiran: "kalau sekarang belum menang pasti di kesempatan berikutnya akan menang, begitu seterusnya".
e.    Faktor Persepsi terhadap Ketrampilan
Penjudi yang merasa dirinya sangat trampil dalam salah satu atau beberapa jenis permainan judi akan cenderung menganggap bahwa keberhasilan/kemenangan dalam permainan judi adalah karena ketrampilan yang dimilikinya. Mereka menilai ketrampilan yang dimiliki akan membuat mereka mampu mengendalikan berbagai situasi untuk mencapai kemenangan (illusion of control). Mereka seringkali tidak dapat membedakan mana kemenangan yang diperoleh karena ketrampilan dan mana yang hanya kebetulan semata. Bagi mereka kekalahan dalam perjudian tidak pernah dihitung sebagai kekalahan tetapi dianggap sebagai "hampir menang", sehingga mereka terus memburu kemenangan yang menurut mereka pasti akan didapatkan.
Selanjutnya, untuk memahami apakah perilaku berjudi termasuk dalam perilaku yang patologis atau tidak, maka diperlukan suatu pemahaman tentang kadar atau tingkatan penjudi tersebut. Hal ini penting mengingat bahwa perilaku berjudi termasuk dalam kategori perilaku yang memiliki kesamaan dengan pola perilaku adiksi (addictive disorder). Pada dasarnya ada tiga tingkatan atau tipe penjudi, yaitu:
a.    Social Gambler
Penjudi tingkat pertama adalah para penjudi yang masuk dalam kategori “normal” atau seringkali disebut social gambler, yaitu penjudi yang sekali-sekali pernah ikut membeli lottery (kupon undian), bertaruh dalam pacuan kuda, bertaruh dalam pertandingan bola, permainan kartu atau yang lainnya. Penjudi tipe ini pada umumnya tidak memiliki efek yang negatif terhadap diri maupun komunitasnya, karena mereka pada umumnya masih dapat mengontrol dorongan-dorongan yang ada dalam dirinya. Perjudian bagi mereka dianggap sebagai pengisi waktu atau hiburan semata dan tidak mempertaruhkan sebagian besar pendapatan mereka ke dalam perjudian. Keterlibatan mereka dalam perjudian pun seringkali karena ingin bersosialisasi dengan teman atau keluarga.
b.    Problem Gambler 
Penjudi tingkat kedua disebut sebagai penjudi “bermasalah” atau problem gambler, yaitu perilaku berjudi yang dapat menyebabkan terganggunya kehidupan pribadi, keluarga maupun karir, meskipun belum ada indikasi bahwa mereka mengalami suatu gangguan kejiwaan. Para penjudi jenis ini seringkali melakukan perjudian sebagai cara untuk melarikan diri dari berbagai masalah kehidupan. Penjudi bermasalah ini sebenarnya sangat berpotensi untuk masuk ke dalam tingkatan penjudi yang paling tinggi yang disebut penjudi patologis jika tidak segera disadari dan diambil tindakan terhadap masalah-masalah yang sebenarnya sedang dihadapi.

c.    Pathological Gambler
Penjudi tingkat ketiga disebut sebagai penjudi “patologi” atau pathological gambler atau compulsive gambler. Ciri-ciri penjudi tipe ini adalah ketidakmampuannya melepaskan diri dari dorongan-dorongan untuk berjudi. Mereka sangat terobsesi untuk berjudi dan secara terus-menerus terjadi peningkatan frekuensi berjudi dan jumlah taruhan, tanpa dapat mempertimbangkan akibat-akibat negatif yang ditimbulkan oleh perilaku tersebut, baik terhadap dirinya sendiri, keluarga, karir, hubungan sosial atau lingkungan disekitarnya. Perilaku judi patologis adalah ketidakmampuan seseorang menahan dorongan untuk berjudi yang dapat mengakibatkan konsekuensi pribadi atau sosial sangat berat. Seseorang yang sedang dalam kondisi seperti ini, cenderung mengalami kesulitan untuk menolak atau mengendalikan dorongan untuk berjudi.
Judi patologis dapat diartikan sebagai perilaku perjudian yang bersifat kompulsif pada diri seseorang dan perilaku perjudian yang dilakukan sudah mempengaruhi kehidupan sehari-hari dan tidak jarang sudah membawa dampak yang kurang baik (negatif) pada diri seseorang tersebut. Dalam DSM-IV yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Assocation (APA) menjelaskan bahwa perilaku berjudi dapat dianggap sebagai gangguan kejiwaaan yang termasuk dalam Impulse Control Disorders, jika perilaku berjudi tersebut sudah tergolong kompulsif. Hal ini didasarkan atas kriteria perilaku yang cenderung dilakukan secara berulang-ulang tanpa dapat dikendalikan, sudah mendarah daging (menetap) dan sulit untuk ditinggalkan. Untuk itu, perilaku judi patologis dimasukkan ke dalam lima gangguan pengendalian impuls tambahan, dimana perilaku judi patologis dikategorikan sebagai adanya kebutuhan untuk mempertaruhkan uang dalam jumlah yang semakin banyak dari waktu ke waktu dan timbul gejala gelisah ketika berusaha berhenti (withdrawal).
Selanjutnya, menurut Adapun kriteria individu yang dapat digolongkan sebagai penjudi yang patologis menurut DSM-IV Screen (alat yang digunakan untuk mengukur tingkatan penjudi) adalah jika individu tersebut menunjukkan 5 (lima) faktor atau lebih dari faktor-faktor sebagai berikut: 
a.    Preoccupation Terobsesi
Dengan perjudian (contoh. sangat terobsesi untuk mengulangi pengalaman berjudi yang pernah dirasakan dimasa lalu, sulit mengalihkan perhatian pada hal-hal lain selain perjudian, atau secara khusuk memikirkan cara-cara untuk memperoleh uang melalui perjudian) 
b.    Tolerance
Kebutuhan untuk berjudi dengan kecenderungan meningkatkan jumlah uang (taruhan) demi mencapai suatu kenikmatan/kepuasan yang diinginkan.
c.    Withdrawal
Menjadi mudah gelisah dan mudah tersinggung setiapkali mencoba untuk berhenti berjudi.
d.    Escape
Menjadikan perjudian sebagai cara untuk melarikan diri dari berbagai masalah hidup atau perasaan yang kurang menyenangkan (contoh: Perasaan bersalah, ketidakberdayaan, cemas, depresi, sedih) 
e.    Chasing
Setelah kalah berjudi, cenderung kembali berjudi lagi untuk mengejar kemenangan supaya memperoleh titik impas. 
f.     Lying
Berbohong kepada anggota keluarga, konselor atau terapist atau orang lain tentang keterlibatan dirinya dalam perjudian. 
g.    Loss of control
Selalu gagal dalam usaha mengendalikan, mengurangi atau menghentikan perilaku berjudi. 
h.    Illegal Acts
Terlibat dalam tindakan-tindakan melanggar hukum, seperti penipuan, pencurian, pemalsuan, dsb, demi menunjang biaya finansial untuk berjudi.
i.      Risked significant relationship
 Membahayakan atau menyebabkan rusaknya hubungan persahabatan dengan orang-orang yang sangat berperan dalam kehidupan, hilangnya pekerjaan, putus sekolah atau keluarga menjadi berantakan, atau kesempatan berkarir menjadi hilang.
j.      Bailout
Mengandalkan orang lain untuk memberikan uang kepada dirinya ataupun keluarganya dalam rangka mengurangi beban finansial akibat perjudian yang dilakukan.
Menurut pandangan teori-teori yang dalam ilmu psikologi, ada beberapa penyebab yang menjadikan seseorang bisa menjadi penjudi patologis, diantaranya adalah :
a.    Pandangan psikoanalisa
Berdasarkan pandangan para ahli psikoanalisa yang salah satu sudut pandangnya sangat menekankan pada adanya id, ego dan super ego, lebih menjelaskan bahwa adanya perilaku judi patologis lebih disebabkan karena adanya dorongan id (yang selalu menuntut dipuaskan) dari dalam diri seseorang (penjudi) tanpa melihat ego (kenyataan) yang ada pada dirinya serta tidak memperdulikan superego (aturan, norma maupun larangan) yang mencoba menghalanginya untuk melakukan tindakan atau perilaku berjudinya.
b.    Pandangan behavioristik
Berdasarkan pandangan behavioristik, munculnya perilaku judi patologis pada seseorang lebih menekankan pada adanya perilaku itu sendiri, maksud dari perilaku itu sendiri adalah bahwa ketika seseorang melakukan perjudian dan seseorang tersebut mampu mendapatkan keuntungan yang diperoleh jika memenangkan perjudian (positif reward) maka dapat dipastikan bahwa perilaku judi pada seseorang tersebut akan cenderung menguat. Hal ini disebabkan karena dengan adanya kemenangan yang diperoleh maka secara otomatis seseorang tersebut akan mendapatkan kepuasan dari perilaku yang telah dilakukan serta semakin lama akan semakin intens (sering) melakukannya.
c.    Pandangan Humanistik
Menurut pandangan humanistik adanya perilaku judi patologis lebih menekankan akan adanya kebutuhan – kebutuhan yang ada pada diri seseorang, dimana kebutuhan tersebut senantiasa harus dipenuhi, mulai dari kebutuhan yang bersifat fisiologis, sampai kebutuhan akan aktualisasi diri (teori Maslow). Pada dasarnya seorang penjudi melakukan perjudian demi memenuhi kebutuhan tingkat fisiologisnya (kebutuhan dasar), namun ada beberapa yang menjadikan perjudian sebagai lambang aktualisasi diri, terutama yang dilakukan oleh orang-orang yang bisa dikatakan mampu dan memiliki banyak kelebihan dalam hal materi.
d.    Pandangan Cognitive Behavior
Menurut pandangan Cognitive Behavior, perilaku judi patologis lebih diartikan sebagai perilaku yang abnormal. Hal ini disebabkan karena dalam diri seseorang yang berjudi (judi patologis) cenderung memiliki konsep atau pemikiran yang irrasional pada dirinya sehingga menyebabkan seseorang tersebut bertingkah laku yang maladaptive (judi patologis). Seorang penjudi memiliki pemikiran-pemikiran bahwa dengan berjudi maka dirinya bisa mendapatkan kekayaan dan keuntungan yang berlipat ganda dalam waktu yang singkat atau cepat. 
Pada dasarnya ketika seseorang sudah mengalami judi patologis, orang tersebut masih bisa untuk melakukan perubahan atau pengobatan pada dirinya dengan harapan bahwa perilakunya tersebut akan berkurang. Berdasarkan pengalaman, pengobatan untuk orang dengan penyakit judi patologis dimulai dengan mengenali masalah terlebih dahulu sehingga dapat diketahui akan akar permasalan dan mampu menemukan celah dan cara untuk merubah atau mengobatinya. Pada umumnya seseorang yang mengalami judi patologi akan senantiasa melakukan penyangkalan atau penolakan bahwa dirinya sedang menderita penyakit tersebut. Untuk itu sangat dibutuhkan adanya dukungan dari semua pihak (keluarga, rekan, masyarakat) untuk bisa membantu menyadarkannya sehingga seseorang tersebut mengetahuinya dan pada akhirnya menjadi sadar atas apa yang telah dilakukannya selama ini (konseling).
Selain itu, ada beberapa hal yang harus benar-benar diperhatikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia ini, berkaitan dengan adanya perilaku perjudian ini, diantaranya adalah :
  1. Mengingat bahwa perjudian amat sulit untuk diberantas, maka hal pertama yg perlu diperhatikan untuk melindungi anggota keluarga agar tidak terlibat dalam perjudian adalah melalui penanaman nilai-nilai luhur di mulai dari keluarga, selaku komunitas terkecil dalam masyarakat. Kalau orang tua dapat menanamkan nilai-nilai luhur pada anak-anak sejak usia dini maka anak akan memiliki kontrol diri dan kontrol sosial yang kuat dalam kehidupannya, sehingga mampu memilih alternatif terbaik yang berguna bagi dirinya dan masyarakat di sekitarnya. Penanaman nilai-nilai bukan hanya sekedar dilakukan dengan kata-kata tetapi juga lebih penting lagi melalui keteladanan dari orangtua.
  2. Mengingat pula bahwa perilaku berjudi sangat erat kaitannya dengan pola pikir seseorang dalam memilih suatu alternatif, maka sangatlah perlu bagi orangtua, pendidik dan para alim ulama untuk mengajarkan pola pikir rasional. Pola pikir rasional yang saya maksudkan adalah mengajarkan seseorang untuk melihat segala sesuatu dari berbagai segi, sebelum memutuskan untuk menerima atau menolak alternatif yang ditawarkan. Dengan memiliki kemampuan berpikir rasional seseorang tidak akan dengan mudah untuk mengambil jalan pintas.