Kamis, 17 Desember 2015

Mutasi Pegawai

MUTASI


Kata “mutasi” sudah dikenal oleh sebagian masyarakat, baik di dalam maupun luar lingkungan perusahaan/instansi/organisasi, dimana hal tersebut merupakan fenomena yang biasa terjadi di sebuah perusahaan/instansi/organisasi. Masyarakat sering mengartikan mutasi sebagai suatu hukuman atas kesalahan yang dilakukan oleh seorang pegawai, bahkan dalam lingkungan masyarakat tertentu kalau mendengar kata mutasi maka akan beranggapan bahwa orang yang dimutasikan itu adalah orang yang telah melakukan suatu kesalahan atau menyalah gunakan kedudukannya. Padahal, pada hakekatnya mutasi adalah bentuk perhatian pimpinan terhadap bawahan. Dimana, dalam suatu perusahan/instansi/organisasi, mutasi diartikan sebagai suatu perubahan posisi/jabatan/tempat/pekerjaan yang dilakukan oleh pimpinan perusahaan/instansi/organisasi kepada seseorang yaitu karyawannya (manajemen dan non-manajemen) baik secara horizontal maupun vertikal (promosi/demosi) dan yang perlu lebih di garis bawahi lagi adalah bahwa kegiatan mutasi sebenarnya dilakukan oleh perusahaan/instansi/organisasi untuk melakukan penyegaran terhadap pegawai sehingga diharapkan tidak akan menimbulkan kejenuhan dalam melaksanakan pekerjaan bagi pegawai yang bersangkutan.
Seperti telah diketahui bahwa mutasi merupakan bagian dari pengembangan sumber daya manusia (SDM) pada suatu perusahan/instansi/organisasi. Mutasi merupakan suatu kegiatan rutin dari perusahaan/instansi/organisasi untuk melaksanakan prinsip “the right man in the right place” dimana perusahan/instansi/organisasi tersebut ingin menempatkan seseorang (pegawai) yang tepat pada tempat yang tepat. Ada dua sifat mutasi yaitu yang pertama, kegiatan pemindahan pegawai dari satu tempat kerja ke tempat yang baru yang sering disebut dengan istilah alih tempat (tour of area) dan yang ke dua, kegiatan pemindahan pegawai dari tugas yang satu ke tugas yang lain dalam satu unit kerja yang sama atau dalam perusahaan yang sering disebut dengan istilah alih tugas (tour of duty). Pada umumnya tujuan akhir dari adanya kegiatan mutasi adalah untuk mengembangkan motivasi, meningkatkan pengetahuan dan pengalaman kerja, meningkatkan mutu proses pekerjaan dan produktifitas serta yang tidak kalah terpenting adalah untuk mencapai tingkat efisiensi dan efektifitas dari perusahaan/instansi/organisasi tersebut. Namun, secara lebih khusus tujuan dari adanya kegiatan mutasi adalah untuk mengembangkan kompetensi pegawai terutama dari segi kemampuan, pengetahuan, dan keterampilannya.
Pada umumnya, dasar yang digunakan untuk menentukan mutasi pegawai di antaranya adalah lamanya masa kerja disuatu bidang pekerjaan, kebutuhan non-organisasi, penyegaran organisasi, pengetahuan, dan keterampilan serta alasan khusus (alasan keluarga misalnya). Biasanya kegiatan mutasi bagi pegawai dilaksanakan minimal setiap 2 tahun sekali dan maksimal 14 tahun sekali akan tetapi semua itu tergantung dari kebutuhan perusahaan/instansi/organisasi terkait dengan melihat situasi dan kondisi yang ada. Pada dasarnya ada 3 (tiga) sistem mutasi yang biasa dijadikan landasan yang diterapkan oleh perusahaan/instansi/organisasi dalam melakukan kegiatan mutasi bagi pegawainya, yaitu :
a.    Merit system
Merupakan sistem mutasi pegawai yang didasarkan atas landasan yang bersifat ilmiah, objektif dan hasil prestasi kerjanya. Merit system ini merupakan dasar mutasi yang baik karena output dan produktifitas meningkat, semangat kerja meningkat, jumlah kesalahan yang diperbuat menurun, absensi dan disiplin pegawai semakin baik, jumlah kecelakaan menurun. Dalam sistem ini, kompetensi serta kemampuan dari pegawai benar-benar sebagai dasar untuk dilakukannya mutasi.
b.    Seniority system
Merupakan sistem mutasi yang didasarkan atas dasar landasan masa kerja, usia dan pengalaman kerja dari pegawai yang bersangkutan. Sistem ini dinilai kurang objektif karena kecakapan seseorang yang dimutasikan berdasarkan senioritas belum tentu mampu untuk memangku jabatan baru di tempat barunya.
c.    Spoil system
Yaitu mutasi yang didasarkan atas landasan kekeluargaan. Sistem mutasi seperti ini dinilai sangatlah tidak baik karena didasarkan atas pertimbangan suka atau tidak suka. Sehingga sebaiknya suatu organisasi menghindari alasan kekeluargaan ini karena biasanya landasan ini dikhawatirkan dapat menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan pegawai lainnya.
Selain sistem diatas, hakekatnya masih ada banyak dasar atau landasan lainnya bagi perusahaan/instansi/organisasi dalam melakukan mutasi pegawainya. diantaranya adalah menurut pendapat Hasibuan (2002), yang mengatakan bahwa ada beberapa dasar bagi perusahan ketika melakukan kegiatan mutasi pegawai, yaitu:
a.    Atas Dasar Permintaan Sendiri (PersonalTransfers)
Mutasi pegawai atas dasar permintaan sendiri merupakan mutasi pegawai yang dilakukan atas dasar keinginan sendiri dari pegawai yang bersangkutan dengan persetujuan pimpinan organisasi dimana pegawai tersebut bekerja. Mutasi atas dasar permintaan sendiri ini, pada umumnya hanya perpindahan kepada jabatan yang setingkat, artinya kekuasaan dan tanggung jawabnya masih sama. Mutasi atas dasar permintaan sendiri ini biasanya disebabkan oleh beberapa alasan, diantaranya :
1.    Kesehatan
Adanya faktor kondisi kesehatan dari pegawai terkadang menjadi alasan bagi pegawai untuk memohon kepada pimpinan agar dilakukan mutasi terhadap dirinya. Sebagai contoh adalah adanya kondisi fisik dari pegawai yang kurang mendukung (cacat, disable) untuk melaksanakan pekerjaan sehingga dinilai akan menghambat produktifitas kinerjanya.
2.    Keluarga
Dalam kehidupan, tidak jarang keluarga selalu menjadi prioritas dalam hidup seseorang sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa dalam melaksanakan pekerjaanpun tingkat produktifitas kinerja seseorang akan sangat dipengaruhi oleh kondisi dan keberadaan keluarga. Karena itu, tidak jarang banyak pegawai yang mengajukan mutasi atas dasar pertimbangan keluarga ini, misalkan alasan ingin mengikuti suaminya yang sedang bertugas di luar kota atau luar daerah sehingga diharapkan akan menyatukan keluarganya kembali serta alasan untuk dapat merawat orang tua.
3.    Kerjasama
Dimana pegawai tersebut kurang mampu atau tidak dapat bekerjasama dengan karyawan lainnya karena terjadi pertengkaran atau perselisihan sehingga akan mengganggu produktifitas dan kinerja di bagian tersebut.
Pada dasarnya permintaan mutasi atas dasar permintaan sendiri ini dapat dilaksanakan dengan catatan harus memiliki alasan-alasan serta bukti-bukti yang kuat sehingga dapat dikabulkan oleh pimpinan perusahaan/instansi/organisasi.
b.    Alih Tugas Produksi (ATP)
Mutasi pegawai dengan alasan dasar Alih Tugas Produktif (ATP) merupakan kehendak pimpinan perusahaan/instansi/organisasi untuk meningkatkan produktifitas dengan menempatkan pegawai yang bersangkutan ke jabatan atau pekerjaan yang sesuai dengan kecakapan dan kemampuan pegawai yang bersangkutan (sesuai dengan kompetensi yang dimiliki). Mutasi alih tugas produktif (ATP) bisa dilakukan sebagai bentuk promosi bagi pegawai ke jenjang yang lebih tinggi dari sebelumnya karena telah berprestasi atau demosi ke posisi yang lebih rendah dari sebelumnya karena pegawai tersebut sering melakukan pelanggaran-pelanggaran atau kesalahan-kesalahan yang berdampak terhadap tingkat kinerja dan produktifitasnya. Menurut Paul Pigor dan Charles Mayer, yang dikutip oleh Hasibuan (2002), menyebutkan bahwa ada 5 macam mutasi karena alih tugas produksi (ATP), yaitu :
1.    Production Transfers
Merupakan pengalih tugasan (mutasi) seorang pegawai dari satu bagian ke bagian lain secara horizontal, dimana disatu bagian tersebut memerlukan tambahan tenaga kerja karena adanya kebutuhan, atau ke bagian lain dimana terdapat lowongan pekerjaan karena ada karyawan yang berhenti atau pensiun.
2.    Replacement Transfers
Merupakan pengalih tugasan (mutasi) seorang pegawai yang sudah lama dinasnya ke jabatan lain secara horizontal untuk menggantikan pegawai lain yang masa dinasnya lebih sedikit atau diberhentikan.
3.    Remedial Transfers
Merupakan pengalih tugasan (mutasi) seorang pegawai ke jabatan atau pekerjaan lain, baik pekerjaan yang sama atau tidak, atas permintaan pegawai yang bersangkutan karena kurang mampu bekerja sama dengan rekan-rekannya.
4.    Shift Transfers
Merupakan pengalih tugasan (mutasi) seorang pegawai yang sifatnya horizontal dari satu regu ke regu lain dengan model dan sistem pekerjaan tetap sama namun jam kerja berbeda. Umumnya pembagian jam kerja terbagi dalam 3 shift. Yaitu shift satu, shift dua, dan shift tiga.
5.    Versality Transfers
Merupakan pengalih tugasan (mutasi) seorang pegawai ke jabatan atau pekerjaan lainnya secara horizontal agar karyawan yang bersangkutan dapat melakukan pekerjaan atau ahli (kompeten) dalam berbagai bidang pekerjaan.
Suatu mutasi yang tidak dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi perusahaan tidaklah akan mempunyai banyak manfaat, bahkan mungkin justru akan merugikan perusahaan/instansi/organisasi tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya mutasi harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan serta tujuan yang benar-benar matang. Suatu perusahaan/instansi/organisasi dalam melakukan kegiatan mutasi, selain memiliki dasar dalam melakukan mutasi, perusahaan/instansi/organisasi tersebut tentunya juga memiliki tujuan-tujuan dalam memutasi pegawainya. Pada umumnya, setiap kegiatan mutasi memiliki tujuan yang diharapkan mampu meningkatkan kinerja pegawai, menghindari kejenuhan atau kebosanan terhadap unit kerja yang telah lama diembannya maupun menghindari konflik yang terjadi antar pegawai, dimana apabila konflik ini terlalu lama dibiarkan akan berakibat menurunnya kinerja pegawai dan tidak adanya kerjasama antar pegawai dalam menjalankan roda perusahaan/instansi/organisasinya.
Dan jika dilihat kembali kepada tujuan utama dilakukannya mutasi yaitu demi tercapainya efisiensi dan efektivitas kinerja, maka secara tidak langsung pada dasarnya tujuan dari kegiatan mutasi dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda yaitu dari sudut pandang kepentingan pegawai dan dari sudut organisasi :
a.    Dari sudut pandang kepentingan pegawai, dimana kegiatan mutasi dilakukan dengan tujuan-tujuan sebagai berikut :
1.    Memperluas atau pengembangan kemampuan pegawai (biasanya dalam bentuk program pelatihan jabatan).
2.    Menghilangkan kejenuhan terhadap pekerjaan.
3.    Penyesuaian pekerjaan dengan kondisi fisik pegawai.
4.    Mengatasi perselisihan antara sesama pegawai.
b.    Dari sudut pandang kepentingan organisasi, dimana kegiatan mutasi dilakukan dengan tujuan-tujuan sebagai berikut :
1.    Menciptakan keseimbangan antara sumber daya manusia dengan komposisi pekerjaan atau jabatan.
2.    Meningkatkan produktivitas kerja.
3.    Memberikan pengakuan dan imbalan terhadap prestasi seseorang.
4.    Sebagai alat pendorong agar semangat kerja meningkat melalui persaingan terbuka
Disamping tujuan sebagai pengembangan sumber daya manusia (SDM), pelaksanaan mutasi juga mempunyai dimensi tujuan yang lebih luas dalam kerangka manajemen sumber daya manusia (SDM). Menurut Tanjung dan Rahmawati (2003), beberapa tambahan batasan tujuan tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Untuk meningkatkan produktivitas kerja pegawai.
2.    Untuk meningkatkan keseimbangan antara tenaga kerja dengan komposisi pekerjaan atau jabatan.
3.    Untuk memperluas atau menambah pengetahuan pegawai.
4.    Untuk menghilangkan rasa bosan atau jemu terhadap pekerjaannya.
5.    Untuk memberikan perangsangan agar karyawan mau berupaya meningkatkan karier yang lebih tinggi.
6.    Untuk melaksanakan hukuman atau sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan.
7.    Untuk memberikan pengakuan dan imbalan terhadap prestasinya.
8.    Untuk alat pendorong agar spirit kerja meningkat melalui persaingan terbuka.
9.    Untuk tindakan pengamanan yang lebih baik.
10.  Untuk menyesuaikan pekerjaan dengan kondisi fisik karyawan.
11.  Untuk mengatasi perselisihan antara sesama karyawan.
Dari beberapa pendapat diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya mutasi dapat memberikan pengalaman baru pegawai, hal ini akan bermanfaat dalam pengembangan pengetahuannya serta pengalamannya, mampu membukakan cakrawala berpikir pegawai, mampu mempengaruhi motivasi kerja serta akan lebih memotivasi pegawai untuk mengembangkan diri. Selain itu, dengan mutasi, pegawai dapat mengalami kehidupan organisasional yang berbeda dengan sebelumnya. Hal ini akan bermanfaat dalam mencegah terjadinya kejenuhan pada diri pegawai karena jika kejenuhan terjadi pada pegawai, maka akan menyebabkan menurunnya semangat kerja dan akan berpengaruh terhadap kinerjanya.
Selanjutnya, tindakan yang tepat harus dilakukan oleh pimpinan perusahaan/instansi/organisasi dalam memindahkan pegawainya ke posisi yang menurut hasil analisis tepat dengan kualifikasi, kemampuan dan keinginan pegawai yang bersangkutan. Dengan demikian pegawai yang bersangkutan memperoleh kepuasan kerja secara maksimal dan dapat memberikan output yang produktif sesuai dengan tujuan dari perusahaan/instansi/organisasi. Selain itu, kegiatan mutasi juga harus memperhitungkan faktor kekuatan dari pegawai, artinya apabila seorang pegawai dimutasikan ke unit kerja lain, maka dalam waktu yang relatif singkat atau bila mungkin dalam waktu yang bersamaan harus segera dicarikan atau diangkat penggantinya, sehingga kuantitas pekerjaan tidak terlambat. Dan dalam hal pengembangan organisasi, dimana biasanya akan dilakukan mutasi secara besar-besaran agar selalu melakukan koordinasi dengan unit-unit kerja, sehingga diharapkan tidak akan tejadi pengumpulan pegawai yang berbobot atau memiliki kelebihan kemampuan lebih pada suatu unit tertentu, sedangkan di unit kerja lain akan berkumpul pegawai yang dinilai kurang berkualitas.
            Kemudian, seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa pada dasarnya banyak hal positif yang akan diperoleh bila suatu perusahaan/instansi/organisasi melakukan mutasi terhadap pegawainya secara benar, hanya saja dalam kenyataannya dilapangan atau pada prakteknya, banyak pegawai yang dinilai seolah-olah melawan, membangkang, kurang setuju dan bahkan terkadang sampai membuat keresahan dalam lingkungan kerja bila perusahaan/instansi/organisasinya melakukan mutasi terhadap pegawainya. Hal ini sangatlah wajar karena memang tidak semua pegawai pasti suka dan siap dengan adanya mutasi, meskipun tujuan dan manfaat yang bisa diperoleh dari kegiatan ini sangatlah berarti dan banyak keuntungan bagi kelangsungan perusahaan/instansi/organisasi. Menurut para pakar, ada tiga faktor yang menyebabkan seorang pegawai cenderung menolak dengan adanya mutasi di lingkungan kerjanya, ke tiga faktor tersebut adalah :
1.    Faktor Logis atau Rasional
Penolakan ini dilakukan dengan pertimbangan waktu yang diperlukan untuk menyesuaikan diri, upaya ekstra untuk belajar kembali, kemungkinan timbulnya situasi yang kurang diinginkan seperti penurunan tingkat ketrampilan, serta kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan.
2.    Faktor Psikologis
Penolakan berdasarkan faktor psikologis ini merupakan penolakan yang dilakukan berdasarkan emosi, sentimen, dan sikap. Seperti kekhawatiran akan sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya, rendahnya toleransi terhadap perubahan, tidak menyukai pimpinan atau agen perubahan yang lain, rendahnya kepercayaan terhadap pihak lain, serta kebutuhan akan rasa aman.
3.    Faktor Sosiologis (kepentingan kelompok)
Penolakan terjadi karena beberapa alasan antara lain konspirasi yang bersifat politis, bertentangan dengan nilai kelompok, kepentingan pribadi, dan keinginan mempertahankan hubungan (relationship) yang terjalin sekarang.
           Oleh karena itu, agar tujuan dari mutasi bisa sesuai dengan apa yang diharapkan dari perusahaan/instansi/organisasi, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya, yaitu:
  1. Mutasi tidak boleh dirasakan sebagai hukuman.
Walaupun mutasi mempunyai tujuan-tujuan tertentu, terutama agar pekerjaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Salah satu dasar untuk melaksanakan mutasi adalah kemampuan kerja pegawai yang bersangkutan. Walaupun demikian sering kali mutasi dirasakan oleh seseorang pegawai sebagai suatu hukuman. Bila terjadi demikian maka mutasi yang dilaksanakan tidak akan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, bahkan akan menimbulkan keresahan, kecemburuan, bahkan perpecahan dalam perusahaan/instansi/organisasi tersebut..
  1. Mutasi karena kebijakan dan peraturan.
Mutasi mungkin dilakukan karena telah digariskan oleh pimpinan berdasarkan peraturan dan kebijakan yang sudah tertulis. Jadi dengan kata lain mutasi tersebut bersifat rutin dan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang sudah ada, maka baik pegawai yang dimutasikan tidak boleh beranggapan karena suatu yang negatif atau karena kesalahannya.
  1. Mutasi dan sikap mental.
Selain kemampuan kerja, maka sebaiknya mutasi juga dilaksanakan atas pertimbangan sikap mental dari pegawai itu sendiri. Menurut Nitisemito (dalam Hasibuhan, 2002), sikap mental adalah : “Kepribadian yang melekat pada diri seseorang, antra lain : kejujuran, rasa tanggung jawab, ketelitian, ketekunan, dan masih banyak lagi sikap mental yang dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk melaksanakan mutasi”.
  1. Mutasi karena inisiatif pegawai.
Mutasi tidak selalu dari atas, tetapi dapat juga karena inisiatif dari bawah atau dari pegawai itu sendiri. Inisiatif ini dilakukan dengan permohonan yang diikuti oleh dasar-dasar rasa bosan, ingin maju, tidak dapat bekerjasama dengan kelompok dan lain-lain.
  1. Mutasi harus terkoordinir.
Dalam melaksanakan mutasi sebaiknya dilaksanakan secara terkoordinir dan tidak berdasarkan atas kepentingan-kepentingan tertentu yang bisa merugikan perusahaan/instansi/organisasi tersebut, sebab suatu mutasi yang dilakukan pada umumnya menyangkut kegiatan lain secara berantai yang pada akhirnya akan membawa dampak terhadap produktifitas pegawai.

Referensi :
Hasibuan, S.P.M. (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Gunung Agung.
Tanjung, H, dan Rahmawati,.S. (2003). Pengembangan Sumberdaya Manusia. Diktat pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor: Bogor.



By. Andy Wasono











Selasa, 15 Desember 2015

Perbandingan Rating Stressor Pada Anggota Polri

PERBANDINGAN RATING PERISTIWA YANG MENIMBULKAN STRES 
ANTARA ANGGOTA POLRI FUNGSI RESERSE DAN SABHARA DI JAKARTA


ANDY WASONO

Abstrak

Salah satu upaya meningkatkan profesionalisme Polri adalah dengan membagi tugas Polri dalam lima fungsi teknis kepolisian, diantaranya adalah fungsi Reserse dan fungsi Sabhara yang memiliki tugas dan peranan berbeda. reserse dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari lebih cenderung bersifat Represif (penindakan), sedang Sabhara, lebih menjurus pada tindakan yang bersifat pencegahan (Kunarto, 1997). Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbedaan rating (urutan) stres anggota Polri dari fungsi Reserse dan Sabhara, terhadap kejadian sehari-hari yang bisa menimbulkan stres pada diri mereka. Subyek adalah anggota Polri fungsi Reserse dan Sabhara di wilayah Polda Metro Jaya, mulai dari jenjang Tamtama hingga Perwira berjumlah 100 orang; Justru instrument penelitian yang digunakan adalah Law Enforcement Critical Life Events Scale dari Sewell (dalam Yarmey, 1990) yang telah diadaptasikan pada polisi Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan, antara anggota Reserse dibanding anggota Sabhara memang terdapat perbedaan dalam rating stresnya. Diantaranya, pada fungsi Reserse, lima kejadian yang menempati urutan tertinggi dalam rating stres adalah ikut berpartisipasi dalam korupsi di kepolisian, diskors, penyalahgunaan obat-obatan terlarang secara pribadi, mengkonsumsi alkohol saat bertugas dan terlibat secara pribadi dalam peristiwa penembakan. Sedang pada fungsi Sabhara adalah pemecatan, diskors, penggunaan obat-obatan terlarang, pengurangan gaji dan ikut berpartisipasi dalam korupsi di kepolisian.

Kata Kunci :  Stres, Skala Rating, Anggota Polisi, Reserse, Sabhara

 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (2003)

Rabu, 04 November 2015

Penyimpangan Perilaku Seks



Perilaku seksual yang sehat merupakan tujuan dari perkembangan seksualitas remaja. Seks yang sehat secara fisik artinya tidak tertular penyakit, tidak menyebabkan kehamilan sebelum menikah, tidak menyakiti dan merusak kesehatan orang lain. Sehat secara psikologi artinya mempunyai integritas yang kuat (kesesuaian antara nilai, sikap, dan perilaku), mampu mengambil keputusan dan mempertimbangkan segala resiko yang bakal dihadapi dan siap atas segala resiko dari keputusan. Sehat secara sosial artinya mampu mempertimbangkan nilai-nilai sosial yang ada disekitarnya dalam menampilkan perilaku tertentu (agama, budaya dan sosial), mampu menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan nilai dan norma yang diyakini. Jadi perilaku seks yang sehat dan bertanggung jawab adalah perilaku yang dipilih berdasarkan pertimbangan secara fisik, sosial, dan agama serta psikologis.
Perilaku Seksual yang menyimpang dapat dilihat dari tiga kategori :
1.        Dari cara penyaluran dorongan seksualnya, diantaranya adalah :
a.      Masochisme X Sadisme : Mendapatkan kepuasan dengan siksaan secara fisik atau mental
b.      Eksibitionisme : Mendapatkan kepuasan seks dengan memperlihatkan alat kelaminnya kepada orang lain.
c.        Scoptophilia : Mendapatkan kepuasan seks dari melihat aktivitas seksual.
d.      Voyeurisme : Mendapatkan kepuasan seks dengan melihat orang telanjang.
e.       Troilisme : Perilaku seks yang membagi partner seksual dengan orang lain sementara orang lain menonton. Biasanya pasangan yang melakukan aktivitas seksual pada waktu dan tempat yang sama sehingga bisa saling menonton.
f.        Transvestisme : Mendapatkan kepuasan seks dengan memakai pakaian dari lawan jenisnya.
g.       Seksualoralisme : Mendapatkan kepuasan seks dari aplikasi mulut pada genitilia partnernya.
h.       Sodomi atau seksual analisme : Mendapatkan kepuasan seks dengan melakukan hubungan seksual melalui anus.
2.       Dari orientasi atau sasaran seksual yang menyimpang
a.      Pedophilia : Seseorang dewasa mendapat kepuasan seks dari hubungan dengan anak-anak.
b.      Bestiality : Mendapatkan kepuasan seks dari hubungan dengan binatang
c.           Zoophilia : Mendapatkan kepuasan dengan melihat aktivitas seksual dari binatang
d.      Necriphilia : Mendapatkan kepuasan seks dengan melihat mayat, coitus dengan mayat.
e.       Pornography : Mendapatkan kepuasan seks dengan melihat gambar porno lebih terpenuhi dibandingkan dengan hubungan seksual yang normal.
f.       Fetishisme : Pemenuhan dorongan seksual melalui pakaian dalam lawan jenis.
g.     Frottage : Mendapatkan kepuasan seks dengan meraba orang yang disenangi dan biasanya orang tersebut tidak mengetahuinya.
h.     Saliromania : biasanya pada lelaki yang mendapatkan kepuasan seks dengan mengganggu atau mengotori badan/pakaian dari partnernya.
i.        Gerontoseksuality : Seorang pemuda lebih senang melakukan hubungan seks dengan perempuan yang berusia lanjut.
j.        Incest : Hubungan seksual yang dilakukan antara dua orang yang masih satu darah.
k.     Obscentity : Mendapatkan kepuasan seks dengan mendengarkan perkataan atau gerak gerik dan gambar yang dianggap menjijikkan.
l.        Mysophilia, coprophilia dan Urophilia : Senang pada kotoran, faeces dan urine.
m.   Masturbasi : Mendapatkan kepuasan seks dengan merangsang genitalnya sendiri.

3.       Dilihat dari tingkat penyimpangan, keinginan, dan kekuatan dorongan seksual
a.      Nymphomania : Seorang wanita yang mempunyai keinginan seks yang luar biasa atau yang harus terpenuhi tanpa melihat akibatnya.
b.      Satriasis : Keinginan seksual yang luar biasa dari seorang lelaki.
c.            Promiscuity dan prostitusi : Mengadakan hubungan seksual dengan banyak orang.
d.      Perkosaan : Mendapatkan kepuasan seksual dengan cara paksa.

Selanjutnya, beberapa gangguan seksual yang bisa berhubungan dengan penyimpangan perilaku seksual, yaitu :
1.        Gangguan Identitas Jenis : Adanya ketidakesuaian antara alat kelamin dengan identitas kelamin yang terdapat pada diri seseorang
2.       Parafilia (Deviasi Seks) : Adalah gangguan seksual karena pada penderita seringkali menghayalkan perbuatan seksual yang tidak lazim, sehingga khayalan tersebut menjadi kekuatan yang mendorong penderita untuk mencoba dan melakukan aktivitas yang dikhayalkannya.
3.       Disfungsi Psikoseksual : Adanya hambatan pada selera/minat seksual atau terdapat hambatan pada perubahan psikofisiologik, yang biasanya terjadi pada orang yang sedang bergairah seksual. Misalnya hambatan selera seksual, hambatan gairah seks (Impoten, dan firgiditas), hambatan orgasme, ejakulasi prematur, dispareunia fungsional, vaginismus fungsional.
4.     Ganguan seksula pada remaja : Seringkali dijumpai gangguan seksual pada masa remaja seperti ejakulasi dini atau impotensi, bisa juga dijumpai adanya hambatan selera seksual dan hambatan gairah seksual. Libido seksual yang rendah dan kecemasan yang berkaitan dengan seks, seperti vaginismus. Namun sebagian dari gangguan tersebut belum bersifat permanen melainkan bersifat situasional dan belum bisa dikategorikan sebagai kelainan. Hal ini disebabkan kecemasan dan perasaan bersalah yang begitu kuat, sehingga bisa menghambat dorongan seksual karena status yang belum membolehkan untuk melakukan hubungan seksual.

(Disadur dari beberapa sumber, 2015)